Rabu, 06 September 2017

Siapakah Rohingya Myanmar ?

Konflik Rohingya menjadi bahan pembicaraan hangat diberbagai media Indonesia dan juga facebook. Berita dan foto-foto kekejaman yang mereka alami (beberapa juga hoax) tersebar luas menimbulkan reaksi keras masyarakat Indonesia.

Siapakah sebenarnya etnis Rohingya dan mengapa mereka mengalami penindasan dan kekerasan dari pemerintah Myanmar?.

 
Wanita dan Anak-Anak Rohingya
Siapakah orang Rohingya ?

Etnis Rohingya biasa juga disebut Arakan India, tinggal di daerah Rakhine Myanmar. Mayoritas mereka adalah muslim dan sebagian kecil hindu di negara mayoritas Buddha Myanmar.

Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Rohingya atau Ruaingga, bahasa dengan dialek  berbeda dengan etnis lain di daerah Rakhine maupun Myanmar. Sejak tahun 1982 Rohingya tidak punya kewarganegaraan karena tidak diakui sebagai salah satu kelompok etnis dari 135 etnis yang diakui oleh pemerintah Myanmar. Sekalipun catatan sejarah Rohingya dimulai sejak abad ke 8.

Jumlah mereka sekitar 1 juta jiwa dan hampir semuanya tinggal di pantai barat Rakhine. Mereka hidup di kamp kumuh tanpa fasilitas yang memadai serta seringkali mengalami kekerasan dan penindasan. Pemerintah Myanmar membatasi hak-hak mereka untuk berorganisasi, bersekolah di sekolah negeri dan menjadi pegawai pemerintah. Akibatnya ratusan ribu Rohingya meninggalkan Rakhine, mengungsi  ke negara lain.

PBB menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah etnis yang paling menderita kekerasan dan penindasan di dunia. Yanghee Lee, investigator PBB mengatakan bahwa pemerintah Myanmar ingin mengusir Rohingya dari Myanmar.

Sejarah Rohingya

Sejarah Rohingya adalah sebagai berikut:
Abad 8 M: Etnis Rohingya (keturunan Asia Selatan) hidup di kerajaan merdeka Arakan yang sekarang ini menjadi Rakhine.

Abad 9-14 M:Orang Rohingya mengenal islam dari pedagang arab. 

Abad 1768: Raja Bodawpaya Burma  menaklukan kerajaan Arakan sehingga ratusan ribu orang Rohingya mengungsi ke Banglades.

1790: Inggris mengutus diplomatnya Hiram Cox untuk menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya di Banglades. Hiram Cox kemudian mendirikan kota Cox's Bazaar di Bangladesh untuk menampung pengungsi Rohingya dan sampai sekarang etnis Rohingya masih banyak yang tinggal disana.

1824-1942: Inggris menguasai Burma dan menjadikannya provinsi Inggris India. Ingris mendatangkan banyak sekali pekerja India dan Banglades ke Burma untuk mengerjakan proyek infrastruktur.

1942: Jepang menyerang Burma dan mengusir tentara Inggris. Nasionalis Burma kemudian memyerang komunitas muslim yang dianggap mendapat keuntungan dengan penguasaan Inggris.

1945: Inggris membebaskan Burma dari kekuasaan Jepang dengan bantuan nasionalis Burma dipimpin Aung San dan pejuang Rohingya. Akan tetapi Inggris tidak memenuhi janjinya pada Rohingya yaitu membentuk daerah otonomi Arakan.

Penindasan terhadap Rohingya

Setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1948, pemerintah Myanmar segera membuat peraturan mengenai etnis apa saja yang diakui dan berhak mendapat kewarga negaraan, Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi aturan umum yang berlaku adalah keluarga yang telah tinggal di Myanmar selama 2 generasi dapat mengajukan kewarganegaraan. Berdasarkan peraturan ini banyak orang Rohingya mendapat kewarganegaraan bahkan menjadi anggota parlemen.

1962: Jendral Ni Win dan partai sosialis melakukan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan pemerintah Myanmar. Pemerintah baru Myanmar mewajibkan semua penduduk membuat kartu registrasi nasional. Akan tetapi orang Rohingya diberikan kartu identitas warga asing yang membatasi kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.

1972: pemerintah Junta mulai mengadakan operasi Nagamin (Raja Naga) untuk mencari penduduk asing. Lebih dari 200 ribu orang Rohangya mengungsi ke Bangladesh.

1982: pemerintah Burma membuat undang-undang baru mengenai 135 etnis yang diakui di Myanmar. Rohingya tidak termasuk diantaranya sehingga mereka tidak punya kewarganegaraan. Hak etnis Rohingya untuk mendapat pendidikan, pekerjaan, bepergian, beribadah dan memperoleh pelayanan kesehatan sangat dibatasi.

1991: Sebanyak 250.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades akibat kerja paksa, pemerkosaan dan penindasan.

1992-1997: Sebanyak 230.000 Rohingya kembali ke Rakhine dengan adanya persetujuan damai dengan pemerintah Myanmar.

2012: terjadi kerusuhan atara Rohingya dan warga Buddha Rakhine yang menyebabkan tewasnya 100 orang Rohingya. Sebanyak 10.000 orang diusir ke Banglades dan 150.000 orang dipaksa tinggal di kamp Rakhine.

2016: kelompok militan Harakah al-Yaqin menyerang pos penjagaan perbatasan yang menewaskan 9 tentara Myanmar. Aksi balas dendam tentara Myanmar dilakukan dengan menyerang desa-desa Rakhine serta melakukan pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan. Akibatnya 25.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades. Pemerintah Aung San Su Ki membantah bahwa peristiwa itu terjadi.

Konflik Agustus 2017

Pada tanggal 25 Agustus 2017, kembali terjadi kekerasan dan konflik di wilayah Rakhine. Sejumlah 100 orang gerilyawan muslim bersenjata menyerang pos-pos perbatasan Myanmar dengan Banglades. Tentara Myanmar dan militan muslim Rohingya saling menuduh satu sama lain sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pembakaran desa dan pembunuhan masal. Kekerasan yang terjadi membuat 60.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades.

Tanggapan pemerintah Banglades

Banglades menampung setengah juta pengungsi di kamp darurat. Mereka menganggap orang Rohingya yang masuk ke perbatasan dan tidak tinggal di kam adalah penyusup ilegal. Tentara Banglades berkali kali mencegah pengungsi Rohingya memasuki perbatasan Banglades. Pada tahun 2015, pemerintah Banglades pernah berniat memindahkan pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Tengar Chan teluk benggala. Akan tetapi PBB menolak rencana tersebut karena pulau tersebut tidak layak dihuni dan tertutup banjir besar ketika musim hujan.

Serangan 25 Agustus menimbulkan gelombang baru pengungsi Rohingya menuju Banglades. Beberapa pengungsi berusaha menyebrang namun terdampar di sungai Naf di sepanjang perbatasan. Pemerintah Banglades menegaskan mereka memberlakukan kebijakan "zero tolerance" kepada pengungsi Rohingya. Tentara Banglades tidak mengijinkan pengungsi Rohingya memasuki wilayahnya, akan tetapi banyak pengungsi Rohingya yang berhasil masuk wilayah Banglades dan tinggal di kamp pengungsi yang sangat kumuh.

 
Aung San Suu Kyi  pemimpin de facto Myanmar
Tanggapan Aung San Suu Kyi

Seruan internasional semakin kencang meminta Pemenang Nobel Aung San Suu Kyi memberi pernyataan mengenai penganiayaan terhadap Rohingya.
Aung San Su Kyi menghadapi dilema sebagai ikon hak asasi manusia yg dikenal secara internasional sudah menjadi tugasnya untuk memprotes kekerasan dan penganiayaan yang dialami Rohingya, akan tetapi sebagai pemimpin de facto Myanmar, dia juga tidak ingin kehilangan dukungan dari mayoritas Buddha Myanmar bila memberi pernyataan mendukung pengungsi Rohingya.

Penyebab lebih jauh konflik Rohingya

Persepsi umum mengenai konflik Rohingya dikaitkan dengan perbedaan agama. Beberapa analis mengatakan bahwa konflik ini didorong oleh masalah politik dan ekonomi.

Hubungan antaragama sangat kompleks di Myanmar, Muslim, khususnya orang-orang Rohingya, dihadapkan pada Islamofobia yang sangat mengakar dalam masyarakat dan negara yang mayoritasnya beragama Buddha. Kaum fundamentalis mengklaim bahwa budaya dan masyarakat Buddha negara dikepung oleh umat Islam, bahkan lebih jauh lagi Myanmar dikelilingi oleh banyak negara Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia, "Siegfried O. Wolf, seorang direktur penelitian di Forum Demokrasi Asia Selatan (SADF) yang berbasis di Brussels, mengatakan kepada DW.

Tapi Wolf mengatakan ada aspek ekonomi untuk masalah ini juga. "Wilayah Rakhine adalah salah satu daerah termiskin di negara itu, meskipun kaya akan sumber daya alam. Rohingya dianggap sebagai beban ekonomi tambahan bagi negara, karena mereka bersaing untuk mendapatkan beberapa pekerjaan dan peluang yang tersedia untuk melakukan bisnis, "Wolf menggaris bawahi, menambahkan bahwa pekerjaan dan bisnis di negara bagian sebagian besar diduduki oleh elit Burma.

"Akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa kebencian Buddha terhadap Rohingya tidak hanya religius, melainkan juga didorong oleh politik dan ekonomi."

Peran Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia sangat aktif berperan serta dalam membantu pengungsi Rohingya. Pada tanggal 4 September Mentri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengadakan pembicaraan dengan Aung San Suu Kyi serta melanjutkan pertemuan dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal U Min Aung Hlaing dan tiga menteri yang menduduki jabatan strategis di Myanmar.

Lawatan Menteri Luar Negeri Indonesia ini memang menjadi sorotan dunia, sebab menjadi bentuk respons pertama dimana wakil pemimpin negara turun langsung membahas isu kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine tersebut.

Formula 4+1 untuk Rakhine State yang disampaikan menteri luar negeri, Myanmar pun berjanji untuk membuka akses bagi Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM), 11 lembaga swadaya masyarakat yang berfokus memberi bantuan di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Formula 4+1 yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama, dan pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.

Satu elemen lainnya adalah pentingnya agar rekomendasi Laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan dapat segera diimplementasikan. "Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusiaan dan keamanan tidak semakin memburuk," kata Retno Marsudi dalam pertemuan dengan Suu Kyi, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Semoga konflik Rohingya segera mendapat titik terang, dan tidak terjadi lagi tindak kekerasan.