Konflik
Rohingya menjadi bahan pembicaraan hangat diberbagai media Indonesia dan juga
facebook. Berita dan foto-foto kekejaman yang mereka alami (beberapa juga hoax)
tersebar luas menimbulkan reaksi keras masyarakat Indonesia.
Siapakah
sebenarnya etnis Rohingya dan mengapa mereka mengalami penindasan dan kekerasan
dari pemerintah Myanmar?.
Siapakah orang Rohingya ?
Etnis
Rohingya biasa juga disebut Arakan India, tinggal di daerah Rakhine Myanmar.
Mayoritas mereka adalah muslim dan sebagian kecil hindu di negara mayoritas Buddha
Myanmar.
Bahasa
yang mereka gunakan adalah bahasa Rohingya atau Ruaingga, bahasa dengan dialek
berbeda dengan etnis lain di daerah Rakhine maupun Myanmar. Sejak tahun
1982 Rohingya tidak punya kewarganegaraan karena tidak diakui sebagai salah satu
kelompok etnis dari 135 etnis yang diakui oleh pemerintah Myanmar. Sekalipun
catatan sejarah Rohingya dimulai sejak abad ke 8.
Jumlah
mereka sekitar 1 juta jiwa dan hampir semuanya tinggal di pantai barat Rakhine.
Mereka hidup di kamp kumuh tanpa fasilitas yang memadai serta seringkali
mengalami kekerasan dan penindasan. Pemerintah Myanmar membatasi hak-hak mereka
untuk berorganisasi, bersekolah di sekolah negeri dan menjadi pegawai
pemerintah. Akibatnya ratusan ribu Rohingya meninggalkan Rakhine, mengungsi
ke negara lain.
PBB
menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah etnis yang paling menderita kekerasan
dan penindasan di dunia. Yanghee Lee, investigator PBB mengatakan bahwa pemerintah
Myanmar ingin mengusir Rohingya dari Myanmar.
Sejarah Rohingya
Sejarah
Rohingya adalah sebagai berikut:
Abad 8 M:
Etnis Rohingya (keturunan Asia Selatan) hidup di kerajaan merdeka Arakan yang
sekarang ini menjadi Rakhine.
Abad 9-14
M:Orang Rohingya mengenal islam dari pedagang arab.
Abad
1768: Raja Bodawpaya Burma menaklukan kerajaan Arakan sehingga ratusan
ribu orang Rohingya mengungsi ke Banglades.
1790:
Inggris mengutus diplomatnya Hiram Cox untuk menyelesaikan masalah pengungsi
Rohingya di Banglades. Hiram Cox kemudian mendirikan kota Cox's Bazaar di
Bangladesh untuk menampung pengungsi Rohingya dan sampai sekarang etnis
Rohingya masih banyak yang tinggal disana.
1824-1942:
Inggris menguasai Burma dan menjadikannya provinsi Inggris India. Ingris
mendatangkan banyak sekali pekerja India dan Banglades ke Burma untuk
mengerjakan proyek infrastruktur.
1942:
Jepang menyerang Burma dan mengusir tentara Inggris. Nasionalis Burma kemudian
memyerang komunitas muslim yang dianggap mendapat keuntungan dengan penguasaan
Inggris.
1945:
Inggris membebaskan Burma dari kekuasaan Jepang dengan bantuan nasionalis Burma
dipimpin Aung San dan pejuang Rohingya. Akan tetapi Inggris tidak memenuhi
janjinya pada Rohingya yaitu membentuk daerah otonomi Arakan.
Penindasan terhadap Rohingya
Setelah
merdeka dari Inggris pada tahun 1948, pemerintah Myanmar segera membuat
peraturan mengenai etnis apa saja yang diakui dan berhak mendapat kewarga
negaraan, Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi aturan umum yang
berlaku adalah keluarga yang telah tinggal di Myanmar selama 2 generasi dapat
mengajukan kewarganegaraan. Berdasarkan peraturan ini banyak orang Rohingya
mendapat kewarganegaraan bahkan menjadi anggota parlemen.
1962:
Jendral Ni Win dan partai sosialis melakukan kudeta dan berhasil merebut
kekuasaan pemerintah Myanmar. Pemerintah baru Myanmar mewajibkan semua penduduk
membuat kartu registrasi nasional. Akan tetapi orang Rohingya diberikan kartu
identitas warga asing yang membatasi kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan
dan pendidikan.
1972:
pemerintah Junta mulai mengadakan operasi Nagamin (Raja Naga) untuk mencari
penduduk asing. Lebih dari 200 ribu orang Rohangya mengungsi ke Bangladesh.
1982:
pemerintah Burma membuat undang-undang baru mengenai 135 etnis yang diakui di
Myanmar. Rohingya tidak termasuk diantaranya sehingga mereka tidak punya
kewarganegaraan. Hak etnis Rohingya untuk mendapat pendidikan, pekerjaan,
bepergian, beribadah dan memperoleh pelayanan kesehatan sangat dibatasi.
1991:
Sebanyak 250.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades akibat kerja paksa,
pemerkosaan dan penindasan.
1992-1997: Sebanyak 230.000 Rohingya kembali ke Rakhine dengan adanya persetujuan
damai dengan pemerintah Myanmar.
2012:
terjadi kerusuhan atara Rohingya dan warga Buddha Rakhine yang menyebabkan
tewasnya 100 orang Rohingya. Sebanyak 10.000 orang diusir ke Banglades dan
150.000 orang dipaksa tinggal di kamp Rakhine.
2016:
kelompok militan Harakah al-Yaqin menyerang pos penjagaan perbatasan yang
menewaskan 9 tentara Myanmar. Aksi balas dendam tentara Myanmar dilakukan
dengan menyerang desa-desa Rakhine serta melakukan pembakaran, pemerkosaan dan
pembunuhan. Akibatnya 25.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades. Pemerintah
Aung San Su Ki membantah bahwa peristiwa itu terjadi.
Konflik Agustus 2017
Pada
tanggal 25 Agustus 2017, kembali terjadi kekerasan dan konflik di wilayah
Rakhine. Sejumlah 100 orang gerilyawan muslim bersenjata menyerang pos-pos
perbatasan Myanmar dengan Banglades. Tentara Myanmar dan militan muslim
Rohingya saling menuduh satu sama lain sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap pembakaran desa dan pembunuhan masal. Kekerasan yang terjadi membuat
60.000 etnis Rohingya mengungsi ke Banglades.
Tanggapan pemerintah Banglades
Banglades
menampung setengah juta pengungsi di kamp darurat. Mereka menganggap orang
Rohingya yang masuk ke perbatasan dan tidak tinggal di kam adalah penyusup
ilegal. Tentara Banglades berkali kali mencegah pengungsi Rohingya memasuki
perbatasan Banglades. Pada tahun 2015, pemerintah Banglades pernah berniat
memindahkan pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Tengar Chan teluk benggala. Akan
tetapi PBB menolak rencana tersebut karena pulau tersebut tidak layak dihuni
dan tertutup banjir besar ketika musim hujan.
Serangan
25 Agustus menimbulkan gelombang baru pengungsi Rohingya menuju Banglades.
Beberapa pengungsi berusaha menyebrang namun terdampar di sungai Naf di
sepanjang perbatasan. Pemerintah Banglades menegaskan mereka memberlakukan
kebijakan "zero tolerance" kepada pengungsi Rohingya. Tentara
Banglades tidak mengijinkan pengungsi Rohingya memasuki wilayahnya, akan tetapi
banyak pengungsi Rohingya yang berhasil masuk wilayah Banglades dan tinggal di
kamp pengungsi yang sangat kumuh.
Tanggapan Aung San Suu Kyi
Seruan
internasional semakin kencang meminta Pemenang Nobel Aung San Suu Kyi memberi
pernyataan mengenai penganiayaan terhadap Rohingya.
Aung San
Su Kyi menghadapi dilema sebagai ikon hak asasi manusia yg dikenal secara
internasional sudah menjadi tugasnya untuk memprotes kekerasan dan penganiayaan
yang dialami Rohingya, akan tetapi sebagai pemimpin de facto Myanmar, dia juga
tidak ingin kehilangan dukungan dari mayoritas Buddha Myanmar bila memberi
pernyataan mendukung pengungsi Rohingya.
Penyebab lebih jauh konflik Rohingya
Persepsi
umum mengenai konflik Rohingya dikaitkan dengan perbedaan agama. Beberapa
analis mengatakan bahwa konflik ini didorong oleh masalah politik dan ekonomi.
Hubungan
antaragama sangat kompleks di Myanmar, Muslim, khususnya orang-orang Rohingya,
dihadapkan pada Islamofobia yang sangat mengakar dalam masyarakat dan negara
yang mayoritasnya beragama Buddha. Kaum fundamentalis mengklaim bahwa budaya
dan masyarakat Buddha negara dikepung oleh umat Islam, bahkan lebih jauh lagi
Myanmar dikelilingi oleh banyak negara Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan
Indonesia, "Siegfried O. Wolf, seorang direktur penelitian di Forum
Demokrasi Asia Selatan (SADF) yang berbasis di Brussels, mengatakan kepada DW.
Tapi Wolf
mengatakan ada aspek ekonomi untuk masalah ini juga. "Wilayah Rakhine
adalah salah satu daerah termiskin di negara itu, meskipun kaya akan sumber
daya alam. Rohingya dianggap sebagai beban ekonomi tambahan bagi negara, karena
mereka bersaing untuk mendapatkan beberapa pekerjaan dan peluang yang tersedia
untuk melakukan bisnis, "Wolf menggaris bawahi, menambahkan bahwa
pekerjaan dan bisnis di negara bagian sebagian besar diduduki oleh elit Burma.
"Akibatnya,
kita dapat mengatakan bahwa kebencian Buddha terhadap Rohingya tidak hanya
religius, melainkan juga didorong oleh politik dan ekonomi."
Peran Pemerintah Indonesia
Pemerintah
Indonesia sangat aktif berperan serta dalam membantu pengungsi Rohingya. Pada
tanggal 4 September Mentri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengadakan
pembicaraan dengan Aung San Suu Kyi serta melanjutkan pertemuan dengan Panglima
Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal U Min Aung Hlaing dan tiga menteri yang
menduduki jabatan strategis di Myanmar.
Lawatan
Menteri Luar Negeri Indonesia ini memang menjadi sorotan dunia, sebab menjadi bentuk
respons pertama dimana wakil pemimpin negara turun langsung membahas isu
kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine tersebut.
Formula
4+1 untuk Rakhine State yang disampaikan menteri luar negeri, Myanmar pun
berjanji untuk membuka akses bagi Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar
(AKIM), 11 lembaga swadaya masyarakat yang berfokus memberi bantuan di bidang
kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
Formula
4+1 yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal
dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua orang yang berada di
Rakhine tanpa memandang suku dan agama, dan pentingnya segera dibuka akses
untuk bantuan kemanusiaan.
Satu
elemen lainnya adalah pentingnya agar rekomendasi Laporan Komisi Penasihat
untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.
"Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan
agar krisis kemanusiaan dan keamanan tidak semakin memburuk," kata Retno
Marsudi dalam pertemuan dengan Suu Kyi, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian
Luar Negeri Indonesia.
Semoga
konflik Rohingya segera mendapat titik terang, dan tidak terjadi lagi tindak
kekerasan.